Oleh Dr. Budi Suhardiman, M.Pd.
Di manapun penulis bertugas di situ gerakan literasi digagas. Begitu pula di SMPN 1 Karangpawitan, penulis selalu mengajak warga sekolah dan orang tua untuk terus berliterasi baca tulis. Hal ini karena baca tulis merupakan pilar atau basis untuk kemajuan literasi-lieterasi lainnya. Literasi-literasi lainnya seperti numerasi, sains, digital, kewarganegaraan, kebudayaan, dan finasial akan berkembang dengan pesat apabila diawali terlebih dahulu dengan literasi baca tulis.
Berdasarkan pemikiran di atas penulis sebagai kepala SMPN 1 Karangawitan selalu ingin warga sekolahanya dan orang tua memiliki literasi baca tulis yang kuat. Untuk mewujudkan itu penulis mencoba menggunakan model Caladi. Kata Caladi dalam bahasa Sunda merupakan nama burung. Burung caladi dalam bahasa Indonesia merujuk pada burung pelatuk. Burung ini dikenal karena kebiasaannya mematuk batang pohon dengan tekun, fokus, dan produktif. Ketekunan, fokus, dan produktif ini berarti pintar atau pandai dalam segala hal. Kepandaian itu tentu saja diawali dengan kegiatan baca tulis. Warga sekolah dan masyarakat yang daya dan minat baca tulisnya kuat akan menjadi manusia-manusia pintar dan berkarakter.
Caladi dalam konteks pengembangan literasi di sekolah merupakan kependekan dari contohkan, ajak, lakukan, dorong, dan internalisasikan.
Contohkan, sebagai seorang pemimpin pembelajaran harus selalu memberi contoh dalam segala hal, termasuk dalam kegiatan baca tulis. Seorang kepala sekolah harus memiliki sikap postif terhadap pentingnya kegiatan baca tulis dalam membangun sekolah yang literat. Selain itu kepala sekolah harus menunjukkan hasil karyanya atau prestasi yang pernah diraihnya.
Ajak, tidak hanya sekedar memberi contoh, tetapi kepala sekolah harus mengajak dan menggerakkan semua warga sekolah dan orang tua agar mau membaca dan menulis. Kepala sekolah menjelaskan pentinngnya membaca dan menulis untuk membangun peradaban bangsa. Semua warga sekolah dan orang tua harus diyakinkan bahwa membaca dan menulis itu penting. Harus diyakinkan juga bahwa para murid akan menjadi manusia-manusia pintar apabila, memiliki etika, tatakrama, dan budaya yang kuat apabila diawali dengan kegatan membaca dan menulis.
Lakukan, semua warga sekolah, guru dan siswa melakukan kegiatan membaca dan menulis. Kegiatan membaca yang dilakukan yaitu secara mandiri di perpustakaan dan secara masal di lapangan upacara. Setelah membaca ada kegiatan menceritakan atau menuliskan kembali hasil membacanya. Selain itu untuk menumbuhkan keberanian dalam menulis, sekolah menerbitkan majalah digital yang bernama Berkarsa (Berita Karangpawitan Satu). Media ini merupakan wadah bagi semua warga sekolah untuk menuangkan gagasannya berupa tulisan. Majalah berkarsa memiliki beberapa rubrik, antara lain: Lidah (Liputan dalam sekolah), Lurah (Lipuan Luar Sekolah), Silis (Siswa Menulis), Gumelis (Guru Menulis), Taswirid (Prestasi Murid), Fedo (Foto dan Video), Cergam (Serita Bergambar), dan Lini (Liputan Alumni).
Selain itu majalah Berkarsa merupakan bentuk layanan kepada publik atau orang tua siswa terkait dengan berbagai informasi dan kegiatan di sekolah. Pengembangan dari kegiatan baca tulis yaitu sekolah menerbitkan hasil karya guru dan para siswa berupa buku. Buku itu merupakan karya bersama guru dan siswa. Karya tulis yang dihasilkan guru-guru yaitu berupa artikel tentang pengalaman terbaiknya ketika mengajar. Sementara tulisan para siswa berupa puisi hasil perenungannya ketika berada di lapangan upacara setelah melaksanakan sholat duha bersama.
Dorong, kepala sekolah tidak boleh berhenti untuk terus mendorong semua warga sekolah dan orang tua siswa untuk terus meningkatkan daya dan mint abaca. Dari kegiatan membaca itu bahkan harus menghasilkan karya.
Internalisasi, warga sekolah dan orang tua harus mampu menanamkan nilai, norma, atau pengetahuan dari hasil membaca dan menulis dalam kehidupan sehari-hari. Hasil membaca itu harus mampu mengubah cara berpikir, bersikap, dan bertindak ke arah yang lebih baik dan positif. Hasil membaca harus mampu membentuk karakter, dan menjadikan suatu nilai (seperti kejujuran, tanggung jawab, atau kasih sayang) benar-benar terpatri dalam diri setiap warga sekolah dan orang tua murid.
Seorang murid mau membaca itu bukan karena disuruh tetapi sudah benar-benar berdasarkan kesadaran diri sendiri. Ini artinya nilai pentingnya membaca sudah terinternalisasidalam dirinya. Begitu juga siswa yang memiliki minat dan daya baca yang tinggi akan berdampak pada aspek-aspek lain. Seperti: siswa semakin disiplin, siswa semakin pedul pada lingkungan, siswa semakin mencintai kebersihan, siswa semikin toleran, perundungan semakin berkurang bahkan tidak ada, siswa semakin kuat jati dirinya sebagai bangsa Indonesia, dan lain-lain.
Berbagai bentuk pelanggaran atau perilaku negatif yang dilakukan siswa, menurut penulis lebih banyak disebabkan karena faktor literasi baca tulis para siswa yang rendah. Faktor rendahnya literasi ini sering kita lupakan dalam penanganan berbagai perilaku negatif yang dilakukan para siswa di seluruh Indonesia.
Oleh karena itu sudah saatnya gerakan literasi sekolah direvitalisasi kembali sehingga para siswa Indonesia semakin literat dan bermartabat. Semoga! (Penulis, kepala SMPN 1 Karangpawitan, Garut).
Tinggalkan Komentar